Subscribe:

Featured Posts

Selasa, 24 Januari 2012

Imam Khomeini: Sufi yang Mengguncang Dunia

Salaam Sahabats…
Meneladani sosok Pejuang kesayangan Allah merupakan salah satu cara kita agar memperoleh Kasih Sayang-Nya. Oleh karena itu, kami menghadirkan kisah Perjuangan Imam Khomeini ra. sosok ulama, pejuang ummat, filosof ahli hikmah agar kita lebih mengenal kehidupan beliau. Selamat merenungkan dan meneladaninya….
Di tengah-tengah umat yang dirundung kemalangan demi kemalangan, seorang lelaki Mukmin datang memberi harapan. Di tengah-tengah umat yang sudah kehilangan keberanian, ia berdiri tegak meneriakkan kebenaran. Jutaan kaum Muslimin seluruh dunia menemukan pemimpin mereka. Setelah ratusan tahun merintih dalam gelombang penindasan yang tak kunjung berhenti, pemimpin ini menyuarakan hati nurani mereka. Ia berbicara kepada dunia tentang Islam tidak dengan suara memelas. Ia tidak mengemis minta belas kasihan. Ia tidak merendahkan suaranya karena takut pembalasan. Ia membentak musuh-musuh umat dengan suara lantang. Dunia pun mendengar suara Islam yang menggetarkan, menggerakkan, membangkitkan, dan menghidupkan.

Lelaki Mukmin ini berkata, “Inilah kata-kataku yang terakhir bagi kaum Muslimin dan rakyat yang tertindas di seluruh dunia: Kalian tidak boleh duduk berpangku tangan dan diberi anugerah kemerdekaan dan kebebasan oleh orang yang berkuasa di negeri kalian atau oleh kekuatan asing. Kalian, wahai rakyat tertindas di dunia, hai negeri-negeri Muslim. Bangun, ambilah hak kalian dengan gigi dan cakar kalian.”
Umat Islam terpesona mendengar suara ini. Biasanya, mereka mendengar pemimpin Islam yang menyuruh mereka bersabar, yang memberikan obat penenang, yang meniupkan impian. Suara lelaki ini lain. Ia menggugah, ia mengelektrifisir, ia menghentak.
Maka, jutaan umat Islam bangun dari tidur mereka yang panjang. Di bawah komando lelaki ini, rakyat Iran menumbangkan tiran yang paling kuat di Negara Dunia Ketiga. Akan tetapi, suaranya tidak hanya menggerakkan Iran. Suaranya melintas ke seluruh penjuru dunia. Bangkitlah jutaan umat Muhammad: sebagian tersentak, sebagian besar hanya menggeliat. Apa pun yang terjadi, jalan sejarah telah berubah. Harian Independent dari Inggris menulis, “It’s rare than one person, is given the mission of changing the path history. The mission was given to Ayatullah Khomeini.” Ya, dialah Ayatullah Ruhullah Al-Musawi Al-Khomeini.
Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan pengalaman orang-orang yang pernah berhadapan dengan tokoh besar ini. Saya ingin mulai dengan pengalaman Robin Woodsworth Carlsen, seorang filusuf Kanada yang non-Muslim. Setelah itu, saya akan hantarkan kisah-kisah kehidupan Imam seperti yang diceritakan oleh orang-orang yang dekat dengan Imam Khomeini, yaitu Sayyid Akhmad Khomeini dan istrinya.
Robin Woodsworth Carlsen adalah seorang penyair dan filusuf Kanada. Ia menulis beberapa buku filsafat, antara lain Enigma of An Absolute: “The Consciousness of Ludwig Wittgenstein”. Sebagai wartawan, ia telah tiga kali berkunjung ke Iran. Pada kunjungan yang ketiga, Februari 1982, beserta para peserta konferensi internasional, ia berkesempatan beraudensi dengan Imam Khomeini di Jamaran. Pertemuan dengan Imam diceritakannya dengan bahasa yang sangat filosofis dalam bukunya “The Imam and His Revolution: A Journey Into Heaven and Heil”. Sangat sulit bagi saya untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa yang mudah dicerna. Saya akan kutipkan secara langsung sebagian saja dari tulisannya, dan di sana sini saya akan menceritakan kembali dalam narasi saya sendiri.
Pada malam 8 Februari diumumkan bahwa peserta konferensi akan mendapat kesempatan mendengarkan pidato Imam. Carlsen melihat pertemuan ini sebagai kesempatan penting untuk meneliti Imam secara kritis. Sebagai seorang filusuf, ia sudah sering berjumpa dengan orang-orang yang dianggap suci, tetapi ia meragukan kesucian Imam Khomeini. “Terlalu banyak dendam, darah, dan absolutisme” di sekitar pribadi Imam. Sebagai wartawan Barat, ia sudah memperoleh gambaran tentang sosok Imam Khomeini yang sangat jelek. Majalah Times telah mengungkapkan banyak hal buruk tentang kehidupan Imam. Dengan kerangka pikiran seperti itulah, Carlsen ingin mengamati Imam dari dekat. Sebagai filusuf, ia sudah mempersiapkan pikiran yang kritis, pikiran yang setiap saat siap mengevaluasi orang secara radikal.
Anehnya, begitu ia naik bus menuju Jamaran, hatinya dipenuhi perasaan yang luar biasa. Hatinya ikut bergejolak sebagaimana dirasakan para penumpang bus lainnya. Ia merasa kalau sebentar lagi ia akan menyaksikan sebuah peristiwa hebat.
Sekarang kita dengarkan cerita Carlsen: Saya duduk di bagian depan ruangan. Kursi Khomeini, yang tertutup kain putih, terletak di atas panggung di hadapan kami kira-kira lima belas kaki di atas lantai. Seorang mullah bercambang putih mengawasi kami ketika kami memasuki ruangan. Ia memperbaiki mikrofon, sambil dengan sabar menunggu kedatangan Imam dari pintu tertutup di sebelah kanan panggung tempat ia memberikan ceramahnya. Ruangan dipenuhi harapan yang disampaikan dengan berbisik. Sekali-kali sebagian orang Islam meneriakkan slogan atau ayat-ayat Al-Quran, lalu diikuti oleh ratusan orang Islam dan pengawal revolusi yang hadir di situ. Tidak seorang pun diperbolehkan merokok. Sikap penghormatan yang menguasai orang-orang yang menunggu Imam telah mengubah pemandangan yang biasanya kita lihat di Iran. Ketika saya mengamati panggung tempat Imam Khomeini menyampaikan ratusan pidatonya, mata saya menangkap ketenangan, kemurnian, dan kesegaran fisik yang melayang-layang, atau lebih tepat lagi berkumpul dalam sebongkah energi yang kokoh dan tembus cahaya, yang sangat berbeda dengan hotel tempat kami menginap, bahkan berbeda dengan lingkungan mana pun yang pernah saya lihat dalam dua kali kunjungan saya ke Iran. Masjid saja tidak memancarkan sifat-sifat ini, sosok energi yang bulat. Mungkin Imam itu seorang manusia yang tercerahkan seorang sufi sejati atau barangkali lebih dari itu? Semua tanda menunjukkan bahwa apa yang terjadi di sini menyeruak kepada apapun yang terjadi di Iran di luar ruangan ini. Perasaan seperti ini hanya mirip dengan apa yang saya rasakan ketika saya berada di front pertempuran atau ketika saya berjalan-jalan di pemakaman Beheste Zahra. Saya hanya dapat menjelaskan perasaan ini dengan berasumsi bahwa barangkali kesyahidan itu ada, bahwa pelepasan ruh suci yang tiba-tiba dari tubuh, dengan membawa ruh itu ke langit karena niat syahid, telah menciptakan energi yang suci, energi yang dibekahi Allah sendiri.
Kami menunggu di sana kira-kira 45 menit sebelum terlihat tanda-tanda kedatangan Imam. Tanda-tanda itu sangat jelas. Beberapa ulama berserban muncul dari pintu itu dan memberi isyarat kepada mullah yang ada di panggung bahwa sang pemimpin, ulama besar, panglima, dan imam sebentar lagi datang. Ketika Khomeini muncul di pintu semua orang bangkit dan mulai berteriak, “Khomeini…Khomeini… Khomeini” teriakan penghormatan kepada manusia yang paling menggetarkan, paling ceria, dan paling bergelora yang pernah saya saksikan. Semua orang betul-betul diseret ke dalam gelombang cinta dan pemujaan yang spontan seraya dengan setiap butir sel dalam jantungnya menyatakan keyakinan mutlak bahwa orang yang mereka hormati itu pantas mendapatkan kehormatan di sisi Allah. Sungguh, aku berani mengatakan bahwa ledakan ekstase dan kekuatan yang menyambut Imam bukan hanya sekadar refleks karena pancingan tertentu tentang Imam. Ia adalah senandung puji yang alamiah dan bahagia; senandung penghormatan yang lahir karena keagungan dan kharisma dahsyat dari orang ini. Ketika pintu dibuka untuknya, saya mengalami badai gelombang energi yang datang dari pintu itu. Dalam jubah cokelat, serban hitam, dan janggut putih, ia menggerakkan semua molekul dalam ruangan itu dan mencengkeram semua perhatian sehingga lenyaplah apapun selain dia. Dia adalah pancaran cahaya yang menembus jauh ke dalam kesadaran semua orang di ruangan itu. Dia menghancurkan semua citra yang ditampilkan untuk menyainginya. Kehadirannya begitu mencekam sehingga aku harus menyusun kembali sensasiku, jauh di luar konsep-konsepku, jauh di luar kebiasaanku mengolah pengalaman.
Aku sudah mempersiapkan apapun keadaan orang ini untuk meneliti wajahnya, menggali motivasinya, memikirkan sifat yang sebenarnya. Kekuasaan, kebesaran, dan dominasi absolut Khomeini telah menghancurkan semua cara penilaianku. Di situ aku hanya mengalami energi dan perasaan yang memancar dari kehadirannya di panggung. Walaupun ia itu taufan, segera kita akan menyadari bahwa di dalam taufan itu ada ketenangan yang mutlak. Walaupun perkasa dan menaklukkan, ia tetap tenang dan damai. Ada sesuatu yang tidak bergerak dalam dirinya, tetapi ketidakbergerakkannya itu telah menggerakkan seluruh Iran. Ini bukan orang biasa. Bahkan, semua orang suci yang pernah aku temui, semacam Dalai Lama, pendeta Budha dan pendeta Hindu, tidak seorang pun memiliki sosok yang menggetarkan seperti Khomeini. Bagi siapa saja yang dapat melihat atau merasa, tidak mungkin meragukan integritas pribadinya atau anggapan orang-orang yang disembunyikan oleh orang-orang seperti Yazdi bahwa ia telah meninggalkan diri manusia yang normal (atau abnormal) dan telah mencapai tempat tinggal yang mutlak. Kemutlakan itu dinyatakan dalam udara, dinyatakan dalam gerak tubuhnya, dinyatakan dalam gerak tangannya, dinyatakan dalam nyala kepribadiannya, dinyatakan dalam ketenangan kesadarannya. Tidak mengherankan apbila ia dicintai jutaan orang Iran dan kaum Muslim sedunia. Bagi pengamat ini, paling tidak ia telah menunjukkan bukti empiris tentang adanya tingkat kesadaran yang tinggi.
Mula-mula ia tidak bicara; pemimpin agama yang lain yang berbicara kepada hadirin. Khomeini duduk dalam kesunyian yang tak bernoda dan dalam keserasian yang sempurna. Ia tak bergerak, ia terpisah, ia berada dalam lautan ketenangan. Tetapi ada suatu yang bergerak murni, ada sesuatu yang terlibat secara dinamis, ada sesuatu yang setiap saat siap melancarkan peperangan. Ia mengecilkan semua orang yang pernah saya temui di Iran. Ia menguasai panggung itu walaupun ada mullah lain yang tengah bicara. Semua mata terpaku pada Khomeini dan ia tidak menunjukkan sedikit pun kepongahan atau sadar diri atau aku berani mengatakan tidak sedikit pun kelihatan melamun atau berpikir ke sana kemari. Seluruh wajahnya secra terus menerus dan secara spontan diarahkan kepada konsentrasi yang secara estetik dan spiritual serasi dengan pemandangan yang kami saksikan. Di sinilah ratusan pejuang dan kaum Muslimin meneriakkan kebesarannya, menyatakan kecintaan, dan penghormatan mereka kepadanya. Tetapi ketika ia menerima semuanya itu, ia tenang dalam dirinya, ia tidak bergerak. Ia tetap besar dalam keadaan batin yang tidak tergoncangkan keadaan yang sebab musababnya di luar jangkauan pengetahuanku.
Mungkin pembaca mengernyit mendengar gambaranku yang berlebihan tentang orang ini. Tetapi ia harus sadar bahwa walaupun aku sudah mendengar apapun tentang dia, walaupun banyak bukti yang kontradiktif telah saya terima sebelumnya, kesan langsung dan sebenarnya tentang pribadi Imam Khomeini tidak lagi dapat dilukiskan dengan ide atau konsep. Pengalaman itu terlalu perkasa untuk dilukiskan seperti itu. Saya melakukan transendensi dari pengalaman biasa yang menentukan sensasi, pikiran, dan perasaan yang berpusat pada kesadaran diriku. Khomeini begitu perkasa. Khomeini begitu kuat dan tak terkalahkan. Waktu itu juga aku melihat semua dorongan revolusi, semua sejarah penggulingan Syah, irama kesyahidan, dan masa lalu peradaban Islam yang membayangi Barat untuk waktu tertentu. Semua itu terkandung dalam kehadiran orang ini. Dia adalah sumber kebangkitan Islam. Dia adalah sumber revolusi. Dia adalah sumber segala kekuatan yang ditampilkan oleh revolusi ini dan oleh Islam ke hadapan dunia. Aku yakin tanpa dia, monarki masih bercokol dan Islam secara efektif akan disingkirkan sebagai faktor dalam nasib politik Timur Tengah. Siapa saja yang memiliki kesadaran atau perasaan untuk mengetahui apa yang diwakili Imam Khomeini (yaitu kehidupan utuh yang memihak Islam) tidak bisa tidak akan dipenuhi dengan semangat Islam, keyakinan syahid yang diberkahi, dan tekad untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Ia mengangkat. Ia mentransformasikan. Khomeini adalah pusat ledakan Islam. Khomeini adalah mata air kekuatan ruhaniah yang mengalir ke dalam hati kaum Muslimin di Timur Tengah—atau paling tidak pada semua kaum Muslim yang secara naluriah dekat dengan jantung Islam.
Ia tidak tertawa. Wajahnya telah terpatri pada keteguhan niatnya. Tuhan telah meminta segalanya dari dia, dan dia pun telah memberikan hidupnya untuk mengabdi kepada Tuhan. Tak ada lagi yang patut ditertawakan, yang patut dijadikan hiburan, atau yang patut dilamunkan. Jalan hidupnya telah ditentukan dan ia siap menerima akibat dari jalan hidup yang telah ditentukannya itu: untuk menegakkan Islam yang berasal dari Tuhan. Ia hidup untuk Islam. Ia telah menjadi instrumen Islam. Ia tidak mempunyai tujuan apapun kecuali untuk menjalankan Islam. Individualitasnya telah tenggelam dalam universalitas tujuannya yang luhur.
Aku harus berkata lebih jauh lagi: Imam Khomeini menembus hati dan otakku dengan arus emosi yang hanya dapat aku gambarkan sebagai positivitas ekstrem, sesuatu yang lebih baik aku sebut “cinta”. Betapa pun tegasnya dalam menjalankan ajaran Islam, betapapun tak tergoyahkan sikapnya, betapapun kebalnya terhadap perasaan individu, ia dipenuhi cinta yang membersihkan hatiku, memenuhinya dengan kebahagiaan yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Ketika aku duduk di sana, pandanganku terpusat kepada wajahnya (dan sinar yang mengitarinya) dan pada saat yang sama dipenuhi dengan energi yang dapat aku hubungkan dengan sejenis kreativitas dan daya yang paling hayati. Dia adalah generator energi dan perasaan yang memenuhi hati dan membersihkan katakanlah ruh. Aku ingin mempertahankan sikap netral, sikap tidak terlibat yang kritis dalam menghadapi Imam. Akan tetapi, di sini aku kehilangan batas-batas individualitasku. Di sini aku menemukan perasaan dan sensasi halus yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Aku dipenuhi oleh manusia Muslim yang suci, manusia yang dianggap—barangkali oleh seluruh dunia—paling tidak sanggup mengisi wartawan Barat dengan rasa bahagia yang Ilahiyah, kejernihan kesadaran yang Ilahiyah. Tetapi, memang inilah pengalamanku. Imam Khomeini telah aku alami sebagai satu-satunya realitas yang memperluas kesadaranku, memurnikan hatiku, menjernihkan otakku. Ketika ia pergi meninggalkan berkat yang tidak pernah berkurang, berkat yang masih terus berada dalam diriku, walaupun tertutup oleh kesibukan hari ini.
Saya akan menghentikan kutipan dari Carlsen sampai di sini. Pertemuannya dengan Imam selama 30 menit telah memenuhinya dengan cinta dan penghargaan terhadap sosok Imam Khomeini. Setelah Imam pergi, setelah semua pengunjung meninggalkan ruangan, Carlsen masih terpaku di depan kursi Imam. Seperti patung, orang melihat Carlsen sedang tenggelam dalam lautan kesadaran. Matanya masih menatap kursi Imam, dan butir-butir air mata bergulir pada pipinya. Ia baru sadar lagi ketika beberapa orang Pengawal Revolusi mengajaknya bicara. Mereka menawarkan pertemuan khusus dengan Imam.
Singkat cerita, ia bermaksud menemui Imam dalam sebuah ruang khusus bersama para mullah yang lain. Tetapi, ternyata Imam harus menemui rombongan baru yang ingin menemuinya lagi di ruangan. Di sana, dalam sebuah lorong di antara kedua ruangan itu, Imam Khomeini menjulurkan tangannya. Ia tidak dapat berbicara. Ia membisu. Ia merasakan getaran hebat. “He sent the thunderbolts of his immorable power into my eyes,” kata Carlsen. Muhammad, penerjemah Carlsen, mencium tangan Imam dengan khidmat. Kepada Carlsen, Muhammad memperlihatkan tangannya dengan bangga. Ia berjanji bahwa sejak saat itu “tangannya tidak akan pernah lagi menyentuh apa pun yang haram dan kotor”.[]
Dikutip ulang dari ,”Sufi yang Menguncang Dunia”
Sumber Tulisan:
Dicopas dari:
http://kampoengsufi.wordpress.com/2009/11/09/imam-khomeini-sufi-yang-mengguncang-dunia/
Sumber Gambar:
1. http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:r_6eUMSokCtkLM:http://qitori.files.wordpress.com/2009/06/imam-khomeini.jpg
2. http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:0R7mKvGXdKezBM:http://www.deviantart.com/download/116197417/Imam_Khomeini_by_islamicwallpers.jpg


Minggu, 08 Januari 2012

Kesederhanaan Seorang Presiden Iran


iran-president-5.jpg

Televisi Fox Amerika pernah bertanya pada Presiden Iran Ahmadinejad : ”Saat anda bercermin di pagi hari, apa yang anda katakan pada diri anda?” Ahmadinejad menjawab, ”Saya melihat seseorang di cermin dan berkata padanya , ”Ingatlah, anda tidak lebih dari seorang pelayan kecil. Di depanmu hari ini ada tanggungjawab besar dan itu adalah melayani bangsa Iran”.

Itulah kalimat pembuka penyiar TV memperkenalkan seorang Ahmadinejad. Ahmadinejad, Presiden Iran yang mencengangkan banyak orang ketika menyumbangkan karpet Istana Presiden (berkualitas tinggi tentunya) ke sebuah masjid di Teheran. Ia lalu mengganti karpet istana dengan karpet murah.

Mantan walikota Teheran itu menutup ruangan kedatangan tamu VIP karena dinilai terlalu besar. Ia lalu meminta sekretariat istana mengganti dengan ruangan sederhana dan mengisi dengan kursi kayu. Sekali lagi fakta yang mengesankan…!
Dalam beberapa kesempatan Presiden juga bergabung dengan petugas kebersihan kota untuk membersihkan jalan di sekitar rumah dan istana Presiden.

Dibawah kepemimpinan Ahmadinejad, setiap menteri yang diangkat selalu menandatangani perjanjian dengan banyak ketentuan, terutama yang ditekankan adalah agar setiap menteri tetap hidup sederhana . Seluruh rekening pribadi dan keluarganya akan diawasi dan kelak jika masa tugasa berakhir sang menteri harus menyerahkan jabatannya dengan kewibawaan . Caranya adalah agar dirinya dan keluarganya tidak memanfaatkan keuntungan sepeser pun dari jabatannya.

Ahmadijed juga mengumumkan bahwa kemewahan terbesar dirinya adalah mobil Peogeot 504 buatan tahun 1977dan sebuah rumah kecil warisan ayahnya 40 tahun lalu yang terletak di salah satu daerah miskin di Teheran. Rekening tabungannya nol dan penghasilan yang diterima hanyalah gaji sebagai dosen sebesar kurang dari Rp 2.500.000,-. (U$ 250)

Asal tahu saja Presiden tetap tinggal di rumahnya. Satu-satunya rumah miliknya, salah satu presiden Negara terpenting di dunia secara strategi, ekonomi, politik dan tentunya minyak dan pertahanannya.
Ahmadinejad bahkan tidak mengambil gajinya sebagai presiden (yang merupakan haknya). Alasannya seluruh kekayaan adalah milik Negara dan ia hanya bertugas menjaganya.

Hal lain yang membuat kagum staf kepresidenan adalah tas yang selalu dibawa setiap hari. Isinya adalah bekal sarapan, beberapa potong roti sandwinch dengan minyak zaitun dan keju . Ahmadinejad menyantap dengan nikmat makanan buatan isteri tersebut Di sisi lain ia menghentikan semua makanan istimewa yang biasa disediakan untuk presiden.

Ahmadinejad juga mengalihkan pesawat kepresidenan menjadi pesawat angkutan barang (cargo) dengan alasan untuk menghemat pengeluaran Negara. Presien juga memilih terbang dengan pesawat biasa di kelas ekonomi.

Ahmadinejad selalu melakukan rapat dengan para menteri kabinetnya untuk memantau semua aktivitas. Semua menteri bisa masuk ke ruangannya tanpa harus izin.Ia juga menghapus semua acara seremonial seperti red carpet, foto-foto dan iklan pribadi ketika jika mengunjungi Negara lain.

Jikalau harus menginap di hotel ia selalu memastikan untuk tidak tidur dengan ruangan dan tempat tidur mewah. Alasannya ia tidak tidur di tempat tidur tetapi tidur di lantai beralaskan matras sederhana dan sepotong selimut.

Apakah semua tindakan dan kelakuan presiden menimbulkan rasa tidak hormat?
iran-presiden.jpg
Coba bandingkan dengan foto-foto berikut. Ahmadinejad tidur di ruang tamu selepas dijaga pengawal kepresidenan seharian kemanapun ia pergi. Foto ini dibuat oleh adiknya dan diterbitkan harian Wifaq yang sehari kemudian menyebar di majalah dan Koran seluruh dunia terutama Amerika Serikat.
iran-president-2.jpg

Saat shalat berjamaah di masjid Presiden tidak duduk di shaf pertama.
iran-president-7.jpg
Foto terakhir adalah presiden sedang menikmati makan di ruang makan

CINTA YANG SUCI LAGI MURNI

Dikutip dari pengembarajiwa
Simpul dari pada Pengetahuan ttng ISLAM terdiri dari Syari’at, Thoriqot, Haqiqat dan Ma’rifat yang kesemuanya tiada terlepas dari pada Fiqih, Tauhid dan Tassawuf. Dengan menuntut Ilmu, seseorang belajar dan berjalan untuk mengarungi Kehidupan ini untuk “kembali” kepada Sumber Kehidupan. “Kembali” adalah Fitrah dari setiap Diri yang telah mengembara melalang Buana di Alam Antah berantah, namun tentu saja ada yang menyadari akan ke-Fitrahan itu dan ada juga yang tidak.

Se-iring dengan tumbuhnya Kesadaran pada diri, Ilmu sangat berperan sebagai petunjuk Jalan dan Amal sebagai Penyemangat Jiwa untuk tetap Istiqomah dalam mencapai Tujuan yaitu “kembali”. Namun Ilmu dan Amal dapat berubah menjadi CAMBUK YANG DAPAT MENYIKSA DIRI SENDIRI apabila tiada disertai ke-TULUS-an yg di dalamnya memuat Inti Sari Ketenangan Jiwa yiatu : IKHLAS, SABAR, TAWAKKAL, RIDHO. Dan ke-TULUS-an adalah Bibit dari pada CINTA yang SUCI lagi MURNI.

Belumlah dikatakan CINTA yang SUCI lagi MURNI jika tiada ke-TULUS-an di dalamnya. Maka setinggi apapun Ilmu yg di tuntut dan sebanyak apapun Amal yang dilakukan tanpa di sertai ke-TULUS-an tidaklah didapatkan CINTA yang SUCI lagi MURNI namun yang di dapat adalah CINTA yang penuh ke-PALSU-an dan ke-MUNAFIK-an yang akan menjadi Siksa pada dirinya sendiri baik tersadari maupun tidak.

CINTA itu awalnya SUCI karena datang dari SANG MAHA SUCI…
CINTA itu awalnya MURNI karena datang dari SANG MAHA MURNI…
Maka…untuk kembali kepada SANG MAHA SUCI dan MAHA MURNI tentunya Mutlak haruslah Lebur di dalam CINTA yang SUCI lagi MURNI.

Para ‘Arifbillah yang telah Karam di dalam CINTA yang SUCI lagi MURNI, baginya “LAA KHOUFUN ‘ALIHIM WA LAA HUM YAHZANUUN” Tiada Takut dan Gentar padanya sedikitpun serta tiada berduka Cita padanya sedikitpun juga (dalam pengertian yang sangat Luas).

Adapun bagi yang terjebak kedalam CINTA yang penuh ke-PALSU-an dan ke-MUNAFIK-an, baginya selalu diliputi oleh RASA PENASARAN-PENASARAN(dalam pengertian yang sangat Luas), sehingga menjadikan Bathinnya senantiasa tidak ada KETENANGAN dan selalu di-HANTU-i oleh SYAK WASANGKA baik tersadari maupun tiada tersadari. Sesungguhnya…SYAK WASANGKA itu merusak ke-IMAN-an dan ke-YAKIN-an pada diri seseorang dengan sangat halus dan lembutnya sehingga tanpa tersadari ke-IMAN-an dan ke-YAKIN-annya telah dikendalikan oleh HAWA NAFSU.
—————————————-OOOOOOOOOOOOOOOOOO—————————————
Semoga….ALLAH SWT pada NUR-NYA yang menjadi Rahmat sekalian Alam dan dengan HAQQUL HAQIQI yang tersirat pada MUHAMMAD AL-MUSTHOFA, memelihara kita semua dalam Pemeliharaan-NYA yang tiada keragu-raguan di dalamnya dengan ke-Yakinan-NYA yang SUCI lagi SEJATI dan menghantarkan diri kepada CINTA yang SUCI lagi MURNI. 

Jumat, 30 Desember 2011

Melangkah di Arsy Tuhan

——— “”Melangkah di Arsy Tuhan, Menengok Rahasia Kalam”" ————
Dalam penantian Sang Hamba menuju kesempurnaan maka akan di mulai dengan Ilmu. Dalam Ilmu (pengetahuan) tidak akan memberikan Manfa’at (sia-sia) jika tanpa di dasari Kesadaran dalam Niat yang tulus.
“Sesungguhnya Manusia itu Mati kecuali mereka2 yang berpengetahuan, dan mereka2 yang berpengetahuan banyak yang tertidur kecuali mereka2 yang mengamalkan, dan mereka2 yang mengamalkan banyak yang tertipu kecuali mereka2 yang Tulus Ikhlas.
Ketika Lautan Hikmah dari segala Ilmu terselami maka terlihat lah……Mutiara2 Indah yang sangat berkilauan, dan banyak di antara para Salik yang mengambil Mutiara2 itu, karena saking Takjub dan terpananya melihat keindahan Mutiara2 tsb.
Ketika rasa Takjub itu datang merasuk kedalam Qolb’ maka pada saat itu…..Nyanyian ke EGO an menyertai dan mengakibatkan diri hanyut dan tenggelam dalam RASA/Zauq.
Ketahuilah……pada satu sisi, RASA/Zauq itu adalah “Jalan/Thoriqoh” menuju Sang Sejati akan tetapi apabila terlena dan hanyut dalam RASA/Zauq itu dan lupa akan “sang pemilik” RASA, maka semakin banyak duri2 yang akan tumbuh pada diri.

Lihatlah…………kesekeliling, berapa banyak yang Asyik Masyuk dalam RASA berenang dalam Nikmatnya RASA, lalu meRASA kosong, lalu meraba dalam Kosong dan mengata tidak ada apa apa dan menyatakan bahwa inilah SEJATI, inilah PUNCAK, inilah AKHIR dari segalanya, inilah IA.
Maka ketika hal itu telah ternanam, maka itulah Akar dari pada duri2 yang akan menyelimuti diri dan tanpa sadar……, telah ber TUHAN kan kekosongan, ber TUHAN kan ke HAMPA an, ber TUHAN kan ketiadaan.
Sesungguhnya……RASA/Zauq itu, masih di dalam sifat Jamal-NYA, dan bukan itulah Akhir perjalanan, namun itu barulah Awal perjalanan untuk Melangkah di “ARSY TUHAN” dan Akhirnya “MENENGOK RAHASIA KALAM”.
Apakah Mutiara2 Indah yang sangat berkilauan itu…..????
Itulah…………ZIKIR/ZIKRULLAH.
Semakin banyak ber ZIKIR/ZIKRULLAH dengan bermacam2 ZIKIR (mutiara2), maka semakin terhijab, jika……………masih terpandang Ma Siwa Allah ( Sesuatu), masih terpandang akan diri : “Aku ini berzikir”, Aku ini beramal”, Aku ini berThoriqoh”, “Aku ini ber mursyid”, “Aku ini berma’rifat”, dll…dll…dll….maka akan timbul suatu penekanan akan sesuatu. Jika penekanan “akan sesuatu” itu telah menjadi pandangan Bathinnya maka Hijab telah menutupi Qolb’ dari NurNya yang Nyata. Ia melihat akan Nur, tetapi yang terlihat bukanlah Nur yang sesungguhnya melainkan hanyalah bayangan dari pada Nur. Maka bayangan tetaplah bayangan, sampai kapanpun tetaplah bayangan dan bayangan bukan lah yang punya bayang2.
Bulan Nyata terlihat, tetapi tiada di ketahui…..karena yang di ketahui hanya kenyataan Bulan di atas Danau dan Bathin lalai bahwa sesungguhnya yang ada di danau itu bukan Bulan, melainkan hanya bayang2 dari sang bulan.
Maka……lihatlah Bulan yang terang dan cahayanya sangat menyejukkan itu dan mendamaikan Qolb itu Sangat Nyata dan Indah, bukan dimana2 tetapi ada di mana2.
Maka…….untuk masuk ke jalan itu…..,
Lepaskan tubuhmu……
Lepaskan hatimu……
Lepaskan jiwamu…..
Lepaskan ruhmu……
Lepaskan Akumu…..
Hingga engkau tak bertubuh jasad lagi, tidak berhati lagi, tidak berjiwa lagi, tidak ber Ruh lagi dan tidak ber Aku lagi.
Pandanglah yang memandang dan rasakan yang merasakan maka engkau tidak ada, maka engkau kosong, maka engkau hampa.
Bukan Al-Haq yang tidak ada, bukan Al-Haq yang kosong itu, bukan Al-Haq yang hampa itu melainkan dirimulah yang tiada, dirimulah yang kosong itu, dirimulah yang hampa dan sunyi itu.
Dan tidak boleh dua, tiga, empat atau banyak yang mengisi kekosongan itu melainkan hanya SATU yang ber hak untuk mengisi kekosongan itu yaitu “Al-Haq”.
Dirimu bukan lah dirimu karena dirimu kosong dan Al-haq lah yang ada pada ke kosongan itu. Jika dirimu sudah kosong karena memang kosong, jika dirimu sudah tidak ada karena memang tidak ada. Maka yang manakah yang di sebut EGO….???, maka yang manakah yang di sebut Nafsu….???, maka yang manakah yang di sebut Aku…???
Maka semuanya pun tidak ada/kosong karna memang kosong/tidak ada.
Maka jika ada bantah membantah, maka jika ada sanggah menyanggah, maka jika ada hujat menghujat, selama itu engkau masih belum kosong dari kedirianmu.
Maka itulah Hijab/Tirai yang sangat tipis bak sehelai rambut di belah tujuh.
Nyata ketiadaan itu menunjukkan Nyatannya yang ADA (Al-Haq).
maka matilah sebelum engkau mati……maka siapakah yang ada setelah kematianmu….????
Jika engkau sudah mati maka engkau sudah tidak ada, maka siapakah yang ada setelah kematianmu/ketiadaanmu…???
Ana (Al-Haq) yang ada…….
Jika hanya Al-Haq yang ada, maka selain itu……..adalah Fatamorgana, bayangan, semu, tidak ada dan nyatalah….Ana (Al-Haq) meliputi pada kekosongan dan ketiadaan dirimu. Dan kekosongan diri/ketiadaan diri itulah Singgasana/Kerajaan TUHAN dan di situlah Al-Haq bersemayam (Arsy’). Bukan di tubuh, bukan pula di hati, bukan pula di jiwa dan juga bukan di Ruh.
Maka “DIAM” = “MATI” = “KOSONG” = “TIDAK ADA” = “Laa Hawla Wa Laa Quwwata…..” dan itulah diri yang bernama PJ, Teguh, Efrizal, Adjie Gurandille, Muria, Anwar, Sugeng, Joko, Laila, Suci, Rohmah, Majnun, Andi, Rahman, Sulaiman, Yahya, dll…dll….dll…….

“Dari kosong maka akan kembali kosong”
“Dari tidak ada maka akan kembali tidak ada”.

Kamis, 29 Desember 2011

ISLAM ITU INDAH

Alangkah Indahnya Islam
Tema keindahan Islam sangat luas, panjang lebar sulit untuk diringkas dengan bilangan waktu yang tersisa. Sebelumnya, yang perlu kita ketahui adalah firman Allah.

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Qs. Ali Imran: 19)

Juga firman-Nya.

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ

“Barang siapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima.” (Qs. Ali Imran: 85)

Jadi, agama yang dibawa oleh para nabi dan menjadi sebab Allah mengutus para rasul adalah dienul Islam. Allah mengutus para rasul untuk mengajak agar orang kembali kepada Allah. Para rasul datang untuk memperkenalkan Allah. Barang siapa menaati mereka, maka para rasul akan memberikan kabar gembira kepadanya. Adapun orang yang menentangnya, maka para rasul akan menjadi peringatan baginya. Para rasul diperintahkan untuk menegakkan agama di dunia ini.

Allah berfirman.

شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحاً وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu ‘Tegakkan agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.’ Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)Nya orang yang kembali (kepada)-Nya.” (Qs. Asy-Syura: 13)

Islam adalah agama yang dipilih Allah untuk makhluk-Nya. Agama yang dibawa Nabi merupakan agama yang paripurna. Allah tidak akan menerima agama selainnya. Jadi agama ini adalah agama penutup, yang dicintai dan diridhaiNya.

Allah berfirman.

يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ

“Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada)-Nya.” (Qs. Asy-Syura: 42)

Sebagian ahli ilmu mengatakan, Sebelumnya aku mengira bahwa orang yang bertaubat kepada Allah, maka Allah akan menerima taubatnya. Dan orang yang meridhoi Allah, niscaya Allah akan meridhoinya. Dan barang siapa yang mencintai Allah, niscaya Allah akan mencintainya. Setelah aku membaca Kitabullah, aku baru mengetahui bahwa kecintaan Allah mendahului kecintaan hamba pada-Nya dengan dasar ayat,

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“Dia mencintai mereka dan mereka mencitai-Nya.” (Qs. Al Maaidah: 54)

Ridha Allah kepada hambaNya mendahului ridha hamba kepada-Nya dengan dasar ayat,

رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ

“Allah meridhoi mereka dan mereka meridhoi-Nya.” (Qs. At-Taubah: 100)

Dan aku mengetahui bahwa penerimaan taubat dari Allah, mendahului taubat seorang hamba kepada-Nya dengan dasar ayat,

ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُواْ إِنَّ

“Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.” (Qs. At-Taubah: 118)

Demikianlah, bila Allah mencintai seorang manusia, maka Dia akan melapangkan dadanya untuk Islam. Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda. “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tidak ada seorang Yahudi dan Nasrani yang mendengarku dan tidak beriman kepadaku, kecuali surga akan haram buat dirinya.” (Hadits Riwayat Muslim)

Karena itu, agama yang diterima Allah adalah Islam. Umat Islam harus menjadikannya sebagai kendaraan. Persatuan harus bertumpu pada tauhid dan syahadatain. Islam agama Allah. Kekuatannya terletak pada Islam itu sendiri. Allah menjamin penjagaan terhadapnya.

Allah berfirman,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Qs. Al-Hijr: 9)

Sedangkan agama selainnya, jaminan ada di tangan tokoh-tokoh agamanya.

Allah berfirman.

بِمَا اسْتُحْفِظُواْ مِن كِتَابِ اللّهِ

“Disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab.” (Qs. Al Maaidah: 44)

Kalau mereka tidak menjaganya, maka akan berubah. Ia bagaikan sesuatu yang mati. Harus digotong. Tidak dapat menyebar, kecuali dengan dorongan sekian banyak materi. Sedangkan Islam pasti tetap akan terjaga. Karena itu, masa depan ada di tangan Islam. Islam pasti menyebar ke seantero dunia. Allah telah menjelaskannya dalam Al Quran, demikian juga Nabi dalam Sunnahnya. Kesempatan kali ini cukup sempit, tidak memungkinkan untuk menyebutkan seluruh dalil. Tapi saya ingin mengutip sebuah ayat.

مَن كَانَ يَظُنُّ أَن لَّن يَنصُرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ فَلْيَمْدُدْ بِسَبَبٍ إِلَى السَّمَاء ثُمَّ لِيَقْطَعْ فَلْيَنظُرْ هَلْ يُذْهِبَنَّ كَيْدُهُ مَا يَغِيظُ

“Barang siapa yang menyangka bahwa Allah sekali-kali tidak menolongnya (Muhammad) di dunia dan akhirat, maka hendaklah ia merentangkan tali ke langit, kemudian hendaklah ia melaluinya kemudian hendaklah ia pikirkan apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya.” (Qs. Al-Hajj: 15)

Dalam Musnad Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Amr, kami bertanya kepada Nabi, “Kota manakah yang akan pertama kali ditaklukkan? Konstantinopel (di Turki) atau Rumiyyah (Roma)?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Konstantinopel-lah yang akan ditaklukkan pertama kali, kemudian disusul Rumiyyah.” Yaitu Roma yang terletak di Italia. Islam pasti akan meluas di seluruh penjuru dunia. Pasalnya, Islam bagaikan pohon besar yang hidup lagi kuat, akarnya menyebar sepanjang sejarah semenjak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Islam adalah agama (yang sesuai dengan) fitrah. Kalau anda ditanya, bagaimana engkau mengetahui Robb-mu. Jangan engkau jawab, “dengan akalku,” tapi jawablah, “dengan fitrahku.” Oleh karena itu, ketika ada seorang atheis yang mendatangi Abu Hanifah dan meminta dalil bahwa Allah adalah Haq (benar), maka beliau menjawab dengan dalil fitrah. “Apakah engkau pernah naik kapal dan ombak mempermainkan kapalmu?” Ia menjawab, “Pernah.” (Abu Hanifah bertanya lagi), “Apakah engkau merasa akan tenggelam?” Jawabnya, “Ya.” “Apakah engkau meyakini ada kekuatan yang akan menyelamatkanmu?” “Ya,” jawabnya. “Itulah fitrah yang telah diciptakan dalam dirimu. Kekuatan ada dalam dirimu itulah kekuatan fitrah Allah. Manusia mengenal Allah dengan fitrahnya. Fitrah ini terkandung dalam dada setiap insan. Dasarnya hadits Muttafaq ‘Alaih. Nabi bersabda: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.”

Akal itu sendiri bisa mengetahui bahwa Allah adalah Al-Haq. Namun ia secara mandiri tidak akan mampu mengetahui apa yang dicintai dan diridhoi Allah. Apakah mungkin akal semata saja dapat mengetahui bahwa Allah mencintai sholat lima waktu, haji, puasa di bulan tertentu? Karena itu, fitrah itu perlu dipupuk dengan gizi yang berasal dari wahyu yang diwahyukan kepada para nabi-Nya.

Sekali lagi, nikmat dan anugerah paling besar yang diterima seorang hamba dari Allah ialah bahwa Allah-lah yang memberikan jaminan untuk menetapkan syariat-Nya. Dialah yang menjelaskan apa yang dicintai dan diridhaiNya. Inilah nikmat terbesar dari Allah kepada hamba-Nya. Bila ada orang yang beranggapan ada kebaikan dengan keluar dari garis ini dan mengikuti hawa nafsunya, maka ia telah keliru. Sebab kebaikan yang hakiki dalam kehidupan ini maupun kehidupan nanti hanyalah dengan menaati seluruh yang datang dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.

Syariat Islam datang untuk menjaga lima perkara. Allah telah mensyariatkan banyak hal untuk menegaskan penjagaan ini. Islam datang untuk menjaga agama. Karena itu, Allah mengharamkan syirik, baik yang berupa thawaf di kuburan, istighatsah kepada orang yang dikubur serta segala hal yang bisa menjerumuskan ke dalam syirik, dan mengharamkan untuk mengarahkan ibadah, apapun bentuknya, (baik) secara zahir maupun batin kepada selain Allah. Oleh sebab itu, kita harus memahami makna ringkas syahadatain yang kita ucapkan.

Syahadat “Laa Ilaaha Illa Allah”, maknanya: tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, ibadah hanya milik Allah. Ini bagian dari pesona agama kita. Allah mengharamkan akal, hati dan fitrah untuk melakukan peribadatan dan istijabah (ketaatan mutlak) kepada selain-Nya. Sedangkan makna syahadat “Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”, (yakni) tidak ada orang yang berhak diikuti kecuali Muhammad Rasulullah. Kita tidak boleh mengikuti rasio, tradisi atau kelompok jika menyalahi Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah. Maka seorang muslim, di samping tidak beribadah kecuali kepada Allah, juga tidak mengikuti ajaran kecuali ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia tidak mengikuti ra’yu keluarga, ra’yu kelompok, ra’yu jama’ah, ra’yu tradisi dan lain-lain jika menyalahi Al Quran dan Sunnah.

Dakwah Salafiyah yang kita dakwahkan ini adalah dinullah yang suci dan murni, yang diturunkan oleh Allah pada kalbu Nabi. Jadi dalam berdakwah, kita tidak mengajak orang untuk mengikuti kelompok ataupun individu. Tetapi mengajak untuk kembali kepada Al Quran dan Sunnah. Namun, memang telah timbul dakhon (kekeruhan) dan tumbuh bid’ah. Sehingga kita harus menguasai ilmu syar’i. Kita beramal (dengan) meneladani ungkapan Imam Malik, dan ini, juga perkataan Imam Syafi’i, “Setiap orang bisa diambil perkataannya atau ditolak, kecuali pemilik kubur ini, yaitu Rasulullah.”

Telah saya singgung di atas, agama datang untuk menjaga lima perkara. Penjagaan agama dengan mengharamkan syirik dan segala sesuatu yang menimbulkan akses ke sana. Kemudian penjagaan terhadap badan dengan mengharamkan pembunuhan dan gangguan kepada orang lain. Juga datang untuk memelihara akal dengan mengharamkan khamar, minuman keras, candu dan rokok. Datang untuk menjaga kehormatan dengan mengharamkan zina, percampuran nasab dan ikhtilath (pergaulan bebas). Juga menjaga harta dengan mengharamkan perbuatan tabdzir (pemborosan) dan gaya hidup hedonisme. Penjagaan terhadap kelima perkara ini termasuk bagian dari indahnya agama kita. Syariat telah datang untuk memerintahkan penjagaan terhadap semua ini. Dan masih banyak perkara yang digariskan Islam, namun tidak mungkin kita paparkan sekarang.

Syariat telah merangkum seluruh amal shahih mulai dari syahadat hingga menyingkirkan gangguan dari jalan. Karena itu tolonglah jawab, kalau menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk bagian dari keimanan, bagaimana mungkin agama memerintahkan untuk mengganggu orang lain, melakukan pembunuhan dan peledakan? Jadi, ini sebenarnya sebuah intervensi pemikiran asing atas agama kita. Semoga Allah memberkahi waktu kita, dan mengaruniakan kepada kita pemahaman terhadap Kitabullah dan Sunnah Nabi dengan lurus. Dan semoga Allah memberi tambahan karunia-Nya kepada kita. Akhirnya, kami ucapkan alhamdulillah Rabbil ‘Alamin.

[Diambil dari situs almanhaj.or.id yang disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1425H/2005M rubrik Liputan Khusus yang diangkat dari ceramah Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman Tanggal 5 Desember 2004 di Masjid Istiqlal Jakarta]

***

Penulis: Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman hafizhahullah

Mencapai Ikhsan - Akhlak Sempurna

Muslim tingkatan Ihsan

Bagaimanakah agar kita mencapai tingkatan muslim yang Ihsan (muhsinin)
Sebuah hadits menguraikan sebagai berikut:
Pada suatu hari kami (Umar Ra dan para sahabat Ra) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw.
Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata,
“Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam.”
Lalu Rasulullah Saw menjawab, “Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.”
Kemudian dia bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang iman.”
Rasulullah Saw menjawab, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya.”
Orang itu lantas berkata, “Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan.”
Rasulullah berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.
Dia bertanya lagi, “Beritahu aku tentang Assa’ah (azab kiamat).”
Rasulullah menjawab, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Kemudian dia bertanya lagi, “Beritahu aku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah menjawab, “Seorang budak wanita melahirkan nyonya besarnya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-gedung bertingkat.” Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata.
Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” Lalu aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah Saw lantas berkata, “Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.” (HR. Muslim)
Dari hadits diatas kita dapat memahami pokok ajaran dari Agama Islam yakni tentang Islam (rukun Islam), Iman (rukun Iman) dan Ihsan (seolah-olah melihatNya).
Dimanakah kita dapat kita pelajari atau kita dalami ke tiga pokok ajaran Agama Islam itu?
Islam (rukun Islam) bisa kita dapati dengan mendalami fiqh / hukum.
Klo tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad maka bolehlah kita mengikuti ulama yang berkompetensi / ahli atau dikenal sebagai Imam Mujtahid.
Jumhur ulama sepakat ada empat Imam Besar yang kita kenal. salah satunya adalah Imam Syafi’i.
Iman (rukum Iman) bisa kita dapati dengan mendalami ushuluddin atau tentang i’tiqad /akidah. Imam yang telah menggali dan merumuskan dari Al-Qur’an dan Hadist, juga disepekati oleh jumhur ulama, salah satunya adalah Imam Abu Hasan al Asy’ari dan Imam Mansur al Maturidi yang dikenal dan disepakati sebagai ulama Ahlussunah Wal Jam’ah yang kaumnya dinamai kaum Ahlussunnah atau kaum Sunni.
Ihsan (seolah-olah melihatNya) bisa kita dapati dengan mendalami tentang akhlak, tazkiyatun nafs, ma’rifatullah yang secara umumnya dinamai Tasawuf. Banyak ulama yang telah menguraikan atau menceritakan pengalaman mereka  tentang Tasawuf , antara lain adalah Syaikh Ibnu Athoillah.
Ihsan adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti “kesempurnaan” atau “terbaik.”
Sebagian muslim ternyata tidak pernah mencita-citakan untuk menjadi muslim yang terbaik, yakni yang mencapai tingkatan Ihsan (muhsin), seolah-olah melihatNya. Yang umumnya dan awamnya diketahui adalah Rukun Islam dan Rukun Iman semata.
Kenyataan yang ada, memang sebagian ulama hanya fokus pada fiqh dan ushuluddin saja.
Mereka jarang mendalami tentang Ihsan (seolah-olah melihatNya), bahkan sebagian menolak mendalami Tasawuf yang merupakan pendalaman tentang Ihsan , hanya semata-mata karena alergi dengan istilah Tasawuf. Menurut mereka, tasawuf adalah mistik, khurafat, tahakyul, kolot, tidak modern atau tidak dapat mengikuti zaman.
Inilah yang kami sedihkan melihat kenyataan bahwa dalam zaman modern ini sebagian muslim tanpa disadari terpengaruh dengan slogan modernisasi agama, pembaharuan, pemahaman/ijtihad baru dengan metode pemahaman tekstual, dzahir, harfiah atau menurut mereka secara ilmiah dan modern yang bersandarkan dalil dan masuk akal.
Setelah kami lakukan pengkajian, ternyata apa yang dimaksud dengan slogan-slogan diatas , secara tidak disadari adalah pendangkalan agama Islam semata karena hanya menguraikan seputar fiqh dan ushuluddin saja. Dengan metode pemahaman secara dzahir, tekstual atau lahiriah mereka tidak dapat mendalami tentang Ihsan atau tasawuf, karena pendalaman Tasawuf adalah semata-mata bergantung kepada karunia Allah dalam bentuk al-hikmah (pemahaman yang dalam).
Kita sesungguhnya tidak menolak seluruh modernisasi. Modernisasi dianjurkan untuk bidang-bidang keduniaan yang belum ada aturannya dari Allah dan Rasul. Namun dalam soal kegamaan, soal syariat, soal ibadah, soal i’tiqad (aqidah), soal hakikat, soal ma’rifat  maka kita menolak sekuat-kuatnya akan modernisasi. Agama adalah dari Allah dan Rasul, kita wajib menerima bagaimana adanya, sebagai yang diajarkan Rasulullah.
Nabi Rasulullah bersabda: “Dari Anas bin Malik Rda, beliau berkata, Rasulullah telah bersabda: Apabila ada sesuatu urusan duniamu maka kamu yang lebih tahu, tetapi apabila dalam urusan agamamu maka Saya yang mengaturnya”. (HR Imam Ahmad bin Hanbal).
Agama tidaklah mengikuti zaman tetapi sebaliknya zaman yang harus tunduk kepada agama.
Slogan modernisasi agama dihembuskan dan sepertinya memang ada pihak yang “mengangkat” atau “mengupayakan” untuk memasyarakatkan metode pemahaman secara dzahir, tekstual atau harfiah. Mereka mengaku sebagai pembaharu (mujaddid)  dan seolah-olah mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad atau menjadi imam mujtahid.
Padahal banyak syarat harus dipenuhi untuk  melakukan ijtihad maupun menjadi imam mujtahid. Silahkan baca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/03/31/imam-mujtahid/
Bagaimana proses pendalaman Tasawuf (tentang ihsan, seolah-olah melihatNya) ?
Tasawuf dalam Islam, sesungguhnya sangat mudah untuk dijalani. Tasawuf bukanlah pemahaman namun amalan atau perbuatan. Sehingga muslim yang telah mendalami Tasawuf bukannya mengajarkan pemahaman namun menceritakan pengalaman mereka atau perjalanan mereka. Kadang-kadang tulisan tidak lagi sanggup mengungkapkan pengalaman atau perjalanan mereka, oleh karenanya sebagian dari mereka mengungkapkan dengan syair , hikmah (pernyataan yang dalam maknanya)  atau nasehat.
Tasawuf dalam Islam, prinsip dasarnya adalah melakukan perbuatan apapun di alam dunia dalam rangka memenuhi keinginan Allah yakni beribadah atau menyembah kepadaNya atau selalu mengingat Allah.
Keinginan Allah, sebagaimana firmanNya yang artinya
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Az Zariyat : 56)
Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (al Hijr: 99)
Setelah kesadaran ini dapat dipahami maka langkah selanjutnya adalah sebagaimana perkataan Rasulullah SAW,
Pakailah pakaian yang baru, hiduplah dengan terpuji, dan matilah dalam keadaan mati syahid” (HR.Ibnu Majah)
Pakaian yang baru adalah bertobat, kemudian mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs), akhlak yang baik, adab yang mulia dalam perjalanan hidup kita, mengantarkan kita kembali sebenar-benarnya bersaksi (syahid) sebagaimana pada awal mula kejadian kita (ketika bayi dalam kandungan).
Oleh karena itu Islam mengajarkan agar setiap umatnya kembali menjadi seperti bayi dalam kandungan, agar dirinya dapat kembali menemui Allah.
Setiap manusia sudah bersaksi bahwa Allah adalah sebagai Rabbnya ketika masih dalam alam kandungan. Sebagaimana yang disampaikan Allah dalam firman yang artinya. “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)
Sebagaimana yang disampaikan imam Al Qusyairi bahwa,
Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.
Jadi langkah selanjutnya adalah selalu mengingat Allah, apapun yang kita lakukan di alam dunia wajib kita selalu mengingat Allah.
Silahkan baca tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/07/10/mengingat-allah/
Dan tulisan-tulisan lainnya di blog ini,  lihat indeks pada kolom paling kanan dengan judul “Perjalanan Hidup”
Firman Allah, yang artinya,
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui” (QS al Maaidah  5 : 54).
Suatu kaum yang Allah mencintai mereka. Dan merekapun mencintaiNya.
Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).
Imam Ahmad berkata, “Zuhud ada tiga macam:
  • Pertama, meninggalkan perkara haram, dan ini adalah zuhudnya orang awam.
  • Kedua, meninggalkan perkara halal yang tidak berguna, dan ini adalah zuhudnya orang khas / khusus.
  • Ketiga, meninggalkan perkara yang menyibukkan seorang hamba sehingga melupakan Allah atau tidak mengingat Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang arif.”
Orang-orang arif adalah orang yang menyibukkan dirinya dengan Allah dan hanya melakukan perbuatan dengan selalu mengingat Allah sehingga mereka adalah muslim yang mencapai tingakatan Ihsan (muhsin), seolah-olah melihatNya.
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.  Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, (dzohir atau “mata kepala”)
tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”. (dilihat oleh hati atau bashirah, “mata hati”)
Kita harus yakin bahwa kita menyembah kepada Tuhan yang kita lihat (dengan mata hati) agar kita tidak tersesat atau salah menyembah.
Sebagaimana firman Allah yang artinya,
Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta (mata hatinya) dari kesesatannya. Dan kamu tidak dapat memperdengarkan (petunjuk Tuhan) melainkan kepada orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, mereka itulah orang-orang yang berserah diri (kepada Kami).” (QS Ar ruum 30 : 53)
Maka apakah kamu dapat menjadikan orang yang pekak bisa mendengar atau (dapatkah) kamu memberi petunjuk kepada orang yang buta (hatinya) dan kepada orang yang tetap dalam kesesatan yang nyata?” (QS As Zukhruf 43:40)
Dengan mengamalkan Tasawuf yang diantaranya Zuhudlah di didunia, maka kita akan dicintai Allah.
Jika Allah mencintai kita maka sebagaimana sabda Rasulullah SAW, dalam sebuah hadits qudsi, bahwa Allah SWT, berfirman:
Apabila Aku (Allah) mencintai seorang hamba, maka pendengarannya adalah pendengaran untuk-Ku, penglihatannya adalah penglihatan-Ku, tangannya (kekuasaannya) adalah kekuasaan-Ku, perjalanan kakinya adalah perjalanan untuk-Ku
kesimpulan: bahwa dengan sadar dan selalu mengingat Allah , kita dapat seolah-olah melihatNya, mencapai muslim tingkatan Ihsan  (Muhsinin).
Tentang muhsinin , lihat QS Lukman 1-7
[31:1] Alif Laam Miim
[31:2] Inilah ayat-ayat Al Quraan yang mengandung hikmat
[31:3] menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin)
[31:4] (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.
[31:5] Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
[31:6] Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
[31:7] Dan apabila dibacakan kepadanya  ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.

Pengertian Muhsinin

Al Qur’an adalah petunjuk bagi orang yang berbuat baik, Ihsan perbuatan atau tingakatannya, orangnya disebut Muhsin, kalau jamak muhsinin, Ihsan itu ialah kita menyembah kepada Allah seolah-olah kita melihatNya padahal kita tidak melihatNya.
Sifat-sifat Muhsinin
Pertama, muhsinin adalah orang yang menjadikan Qur’an itu sebagai hidayah Artinya setiap perilakunya selalu sesuai dengan tuntunan Al Qur’an, dan seluruh waktunya penuh berinteraksi dengan Al Qur’an.
Allah menjadikan Al Qur’an ini sebagai obat/rujukan untuk orang yang muhsinin,
Mereka itu orang-orang yang selalu berbuat baik dengan mengikuti syari’at.
Kadang-kadang orang memahami syari’at itu sempit, potong tangan, rajam begitu pemahaman sebagian orang ketika syari’at itu akan ditegakan.
Padahal, bersikap adil, qanaah, zuhud, ikhlas, taqarub, dan akhlakul karimah yang lain  juga syari’at.
Wassalam